Indonesia Ramah DIsabilitas, Mungkinkah?

Janna Achmad Nugraha (Waketum I)

Genderang perang melawan stigma dan diskriminasi bagi kaum disabilitas di Indonesia sekarang sudah mulai di tabuh, melalui Undang-undang nomor 8 tahun 2016 seakan nyawa penyandang disabilitas kembali lahir kembali. Lantas bagaimana implementasi undang-undang tersebut sekarang untuk menjamin hak penyandang disabilitas? kenyataannya masih jauh dari harapan. Penyandang disabilitas di Indonesia masih di pandang sebelah mata. 

Masih banyak PR negeri khatulistiwa ini untuk mewujudkan negara yang ramah disabilitas, pandangan manusia lain seakan masih dinilai heran dan tidak biasa dalam menyikapi saudara kita penyandang disabilitas, seakan mereka merupakan kaum yang lemah dan tidak dapat berdaya. Penyandang Disabilitas masih terkena diskriminasi dan seakan di 'lemahkan' oleh negara. Dilemahkan? Yaa jelas dilemahkan, dalam kehidupan sehari-hari pun penyandang disabilitas sangat sulit dalam mengakses fasilitas publik dikarenakan aksesibilitas di Negara kita ini masih dari jauh dari harapan. 

Setiap orang di negara ini bebas berpendapat, maka saya pun akan berpendapat dengan membahas dua hal yang saya nilai penting dari banyaknya hal yang penting dibahas menyangkut masalah penyandang disabilitas.

AKSESIBILITAS 
Aksesibilitas adalah salah satu kunci utama dalam mewujudkan Indonesia yang ramah disabilitas. Jika kita lihat disekitar kita maka akan sulit sekali kita menemui tempat yang betul-betul ramah terhadap penyandang disabilitas. Sedikit dari banyaknya contoh misalnya di jalan raya, sulit sekali kita melihat jalur penyandang disabilitas di trotoar negara ini, sedangkan ini menjadi elemen penting yang jarang sekali di perhatikan di Indonesia. 

Baiklah, anggap saja masalah trotoar kita anggap selesai, lantas mari kita bertanya dan sekaligus merenung. Bagaimana cara tuna netra membedakan toilet perempuan dan laki-laki di mall tanpa ada petunjuk braille? ya mungkin jawabannya adalah kaum tuna netra masih bisa bertanya dan mungkin masih banyak orang yang baik hati akan menolong dan menunjukan. Baiklah, kita akan lebih mendalami urusan tolong menolong. 
Tolong-menolong adalah sifat yang mulia, hanya saja jika tolong menolong ini dijadikan alasan untuk mengurangi ketersediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas itu akan sangat berbahaya, mengapa sangat berbahaya? kurangnya ketersediaan aksesibilitas bagi penyandang disabilitas maka akan menyebabkan seringnya disabilitas membutuhkan pertolongan, 
logikanya semakin penyandang disabilitas meminta pertolongan lantaran kurangnya ketersediaan aksesibilitas, maka hal ini lah yang rentan menjadikan adanya diskriminasi, karena hakikat diskriminasi adalah lahir dari perbedaan dan perbedaan itu akan lebih muncul lagi ke permukaan jika aksesibilitas tidak tersedia dengan baik. Lain halnya jika aksesibilitas ini terpenuhi dengan baik, maka penyandang disabilitas akan berjalan beriringan dengan masyarakat pada umumnya pada porsi masing-masing dan tentu akan menambah kepercayaan diri penyandang disabilitas untuk berinteraksi dengan lingkungan sekitar karena dukungan aksesibilitas yang mumpuni. Perlu di ingat, disabilitas ini bukanlah penyakit, tidak bisa disembuhkan dengan meminum obat. Tetapi penyandang disabilitas perlu mandiri dan kemandirian ini tentunya harus di dukung dengan aksesibilitas yang baik untuk menunjang kehidupan bermasyarakat. 

PENDIDIKAN INKLUSI 
Membahas tentang inklusi akan sangat luas sekali karena kita akan dihadapkan dengan perilaku bermasyarakat. Dalam hal ini saya akan membatasi inklusi dalam hal pendidikan. Sekolah Luar Biasa (SLB) tentunya adalah bukan hal yang asing bagi kita tapi kenyataannya masih asing di temui di setiap sudut negara Indonesia, padahal kita mengenal ada jurusan Pendidikan Luar Biasa di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. Kemandirian penyandang disabilitas adalah sebuah goal bagi program apapun di negara ini yang behubungan dengan penyandang disabilitas. 

Jumlah penyandang disabilitas saat ini menurut data Badan Pusat Statistik tahun 2016 mencapai 6.008.661 orang sedangkan ketersediaan SLB baik yang negeri maupun swasta menurut statistik Sekolah Luar Biasa (SLB) 2015/2016 yang di keluarkan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan hanya 1.962 sekolah saja. Perbandingannya cukup sangat jauh, mengingat pendidikan formal juga merupakan penunjang dari kemandirian. Realitanya SLB yang ada sulit di jangkau oleh para pemerlu pendidikan, baik dari jarak atau pun fasilitas untuk menjangkau layanan pendidikan tersebut, oleh karena nya pendidikan inklusi berupa kelas khusus disabilitas ataupun jika dinilai ada solusi dari segi kurikulum yang inklusi harus diselenggarakan pada sekolah-sekolah umum yang jumlah dan jaraknya lebih mudah di jangkau. Hal ini pun akan menjadikan masyarakat mempunyai pendidikan inklusi yang baik semenjak bangku sekolah. 

Banyak kasus yang kita jumpai, demi mendapatkannya pendidikan seorang penyandang disabilitas harus masuk ke sekolah umum negeri maupun swasta, walaupun harus mendapatkan diskriminasi dari lingkungannya, padahal jika kita renungkan diskriminasi ini terjadi karena masyarakat masih 'tabu' jika ada penyandang disabilitas yang mampu menyesuaikan mengenyam pendidikan di sekolah biasa. Oleh karena itu hal ini harus di dukung oleh kebijakan sehingga semangat dari penyandang disabilitas untuk mengenyam pendidikan akan semakin bergelora, dan juga guru-guru lulusan pendidikan luar biasa dapat merambah luas ke sekolah-sekolah umum. Karena jika hal ini telah dibiasakan sejak awal maka persamaan hak kaum disabilitas akan terwujud, dan negeri ini akan betul-betul menjadi "INDONESIA RAMAH DISABILITAS".

Janna Achmad Nugraha

Tidak ada komentar:

Posting Komentar